PEMBAHASAN
2.1 PARADIGMA BARU PERENCANAAN PENDIDIKAN
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan,
maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim
pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma
baru perencanaan pendidikan.
Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma
dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh
lima aspek, yaitu
1. Sifat
Dari segi
sifat, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas
dan prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan
kemampuan masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di
daerah Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat
daerah yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan
nasional yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan,
dan budaya daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas daerah. Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi
merupakan bagian dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi,
tetapi merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam,
walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional.
2. Pendekatan Perencanaan Pendidikan
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era
otonomi telah merubah paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah
dari pendekatan diskrit sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di
daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh
dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga,
serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh
dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah
untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu
meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana
perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat.
Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber
anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi
jamak-fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.
3. kewenangan
pengambilan keputusan
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem
perencanaan pendidikan yang sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam
pengambilan keputusan di bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas,
jenis program, jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran.
Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program,
skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan
kemampuan Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang
antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.
4. Produk
Dari segi
produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan
pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan
pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk Dalam
UU tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah
satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan
yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah.
5. pola
perencanaan anggaran.
Dari segi
pola perencanaan anggaran, perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus
mencakup seluruh komponen perencanaan pendidikan yang meliputi: kebijakan,
rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan kegiatan, serta
alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara
terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan
kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan
umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
2.2 PROFESIONALISME DAN PENGEMBANGAN PROFESIONAL
Profesionalisasi adalah suatu
proses yang melibatkan anggota suatu profesi guna mengembangkan kriteria
standar yang ada dalam kelompoknya. Pengembangan tersebut lebih berorientasi
pada peningkatan karier dan pelayanan terhadap masyarakat, karena dengan
demikian akan meningkatkan status dan memperbesar peluang dalam pengembangan
(Colin Mars, 1996:280). Sementara itu masih dari pendapat yang sama
mengemukakan bahwa pengembangan profesional adalah suatu proses yang melibatkan
anggota dalam pengembangan kemampuan dalam bidang tertentu. Costello dikutip
Colin Mars (1996:280) mengemukakan hal senada bahwa “professional
development is the process of growth in competence and maturity through which
teachers add range, depth and qulity to their performance of theirs
professional tasks”.
Tatty S.B. Amran seorang
profesional muda (Muhamad Nurdin, 2004:139) mengemukakan bahwa guna
mengembangkan profesional diperlukan KASAH. KASAH adalah akronim dari Knowledge
(pengetahuan), Ability (kemampuan), Skill (keterampilan), Attitude
sikap diri), dan Habbit (kebiasaan diri). Hal tersebut selarah
dengan kebijakan pemerintah mengenai standar kompetensi yang harus dimiliki
bagi guru pemula pada sekolah menengah kejuruan, yaitu kompetensi sosial,
kepribadian, bidang studi, dan pendidikan/pembelajaran.
2.3 MASALAH GURU
Masalah guru dapat di lihat
dari beberapa perspektif, meliputi:
a) Aspek Kuantitas
Kekurangan guru diberbagai
jenis dan jenjang, khususnya disekolah dasar, merupakan masalah besar, terutama
di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dalam kondisi kekurangan guru, para
guru harus melakukan kerja ekstra dan semuanya menguras waktu serta tenaga.
Keadaan kerja yang over loaded, guru akan banyak mengalami kesulitan dalam
berkinerja dengan keunggulan, rasa percaya diri, dan pengambilan keputusan
secara tepat.
b) Aspek Kualitas
Dalam kondisi rendahnya
kualitas, guru akan mengalami kesulitan dalam menunjukkan keunggulan serta
kurangnya rasa percaya diri dan pengambilan keputusan secara tepat.
c) Aspek Penyebarannya
Penyebaran guru masih belum
seimbang. Didaerah perkotaan, dirasakan jumlah guru berlebih, tetapi di
pedesaan sangat kekurangan. Langsung ataupun tidak langsung, kondisi ini dapat
berpengaruh terhadap perwujudan kewibawaan.
d) Aspek Kesejahteraan dan Sistem Pengajaran
Guru
Pendapatan yang diperoleh guru
dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawabnya masih sangat jauh. Guru,
sebagai manusia, memerlukan hidup yang normal dan wajar,. Akibatnya,
konsentrasi guru agak terganggu dalam melaksanakan tugasnya. Karena aspek
perekonomiannya yang kurang merangsang.
e) Sistem Pengelolaan dan Jenjang Karier Guru
Sistem yang ada sekarang bisa
dikatakan lebih baik dari sistem di masa lalu. Namun, dalam pelaksanaannya,
masih banyak kendala. Kepastian pengembangan karier di masa yang akan datang
masih perlu dikembangkan secara lebih terarah dan sistematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar