Pages

Jumat, 05 Juli 2013

Paradigma baru perencanaan pendidikan dan Profesionalisme Guru Di Era Otonomi Daerah



PEMBAHASAN

2.1 PARADIGMA BARU PERENCANAAN PENDIDIKAN
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu
1. Sifat
Dari segi sifat, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan  nasional.
2. Pendekatan Perencanaan Pendidikan
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat.
Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.
3. kewenangan pengambilan keputusan
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.
4. Produk
Dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk  Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
5. pola perencanaan anggaran.
Dari segi pola perencanaan anggaran, perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
2.2 PROFESIONALISME DAN PENGEMBANGAN PROFESIONAL
Profesionalisasi adalah suatu proses yang melibatkan anggota suatu profesi guna mengembangkan kriteria standar yang ada dalam kelompoknya. Pengembangan tersebut lebih berorientasi pada peningkatan karier dan pelayanan terhadap masyarakat, karena dengan demikian akan meningkatkan status dan memperbesar peluang dalam pengembangan (Colin Mars, 1996:280). Sementara itu masih dari pendapat yang sama mengemukakan bahwa pengembangan profesional adalah suatu proses yang melibatkan anggota dalam pengembangan kemampuan dalam bidang tertentu. Costello dikutip Colin Mars (1996:280) mengemukakan hal senada bahwa “professional development is the process of growth in competence and maturity through which teachers add range, depth and qulity to their performance of theirs professional tasks”.
Tatty S.B. Amran seorang profesional muda (Muhamad Nurdin, 2004:139) mengemukakan bahwa guna mengembangkan profesional diperlukan KASAH. KASAH adalah akronim dari Knowledge (pengetahuan), Ability (kemampuan), Skill (keterampilan), Attitude sikap diri), dan Habbit (kebiasaan diri). Hal tersebut selarah dengan kebijakan pemerintah mengenai standar kompetensi yang harus dimiliki bagi guru pemula pada sekolah menengah kejuruan, yaitu kompetensi sosial, kepribadian, bidang studi, dan pendidikan/pembelajaran.


2.3 MASALAH GURU
Masalah guru dapat di lihat dari beberapa perspektif, meliputi:
a)    Aspek Kuantitas
Kekurangan guru diberbagai jenis dan jenjang, khususnya disekolah dasar, merupakan masalah besar, terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dalam kondisi kekurangan guru, para guru harus melakukan kerja ekstra dan semuanya menguras waktu serta tenaga. Keadaan kerja yang over loaded, guru akan banyak mengalami kesulitan dalam berkinerja dengan keunggulan, rasa percaya diri, dan pengambilan keputusan secara tepat.
b)   Aspek Kualitas
Dalam kondisi rendahnya kualitas, guru akan mengalami kesulitan dalam menunjukkan keunggulan serta kurangnya rasa percaya diri dan pengambilan keputusan secara tepat.
c)    Aspek Penyebarannya
Penyebaran guru masih belum seimbang. Didaerah perkotaan, dirasakan jumlah guru berlebih, tetapi di pedesaan sangat kekurangan. Langsung ataupun tidak langsung, kondisi ini dapat berpengaruh terhadap perwujudan kewibawaan.
d)   Aspek Kesejahteraan dan Sistem Pengajaran Guru
Pendapatan yang diperoleh guru dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawabnya masih sangat jauh. Guru, sebagai manusia, memerlukan hidup yang normal dan wajar,. Akibatnya, konsentrasi guru agak terganggu dalam melaksanakan tugasnya. Karena aspek perekonomiannya yang kurang merangsang.
e)    Sistem Pengelolaan dan Jenjang Karier Guru
Sistem yang ada sekarang bisa dikatakan lebih baik dari sistem di masa lalu. Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak kendala. Kepastian pengembangan karier di masa yang akan datang masih perlu dikembangkan secara lebih terarah dan sistematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar